Gay Asian Cute


























0 komentar:

Download Video-7




0 komentar:

Download Video-6



0 komentar:

Download Video-5



0 komentar:

Download Video-4



0 komentar:

Download Video-3



0 komentar:

Koleksi Video-10







0 komentar:

Koleksi Video-9

0 komentar:

IF I LOVE YOU TOO?



By: Rieyo

Levi tiba-tiba bergerak mendekat ke arahku, setelah sebelumnya menyentuh sedikit rambutku. Aku cepat mengantisipasi dengan melihat padanya, dan agak memundurkan wajahku. Dia pasti mencoba mencuri-curi
 kesempatan untuk menciumku lagi seperti waktu itu.

Kami memang berada di dalam mobilnya yang tak akan terlihat orang lain dari luar, tapi rasanya tidak boleh… hanya…

“Aww!” aku yang tanpa sadar barusan malah jadi memejamkan mata, mendapatkan cubitan yang tak aku duga di pahaku. Aku membuka mata dan melihat wajah puas Levi. “Ngapain sih lo? Sakit tau!” protesku, sambil mengusap-usap paha ku yang tadi dia cubit.

“Rasain” kata Levi cuek, dan malah tertawa mengejek. “Jadi, mau langsung nonton apa mau makan dulu?” tanya nya pula. Seketika suasana serius dan menegangkan tadi jadi semakin mencair. Dia bisa mengendalikan keadaan dimana tadi aku sedang berkata dengan sinis dan tak menyenangkan padanya. Apa itu artinya dia bisa mengendalikan aku juga? How come?

“Ya udah, kita langsung nonton aja” jawab ku.

“Kenapa? Bukan nya kamu mau ngajak aku pulang pagi?”

“Lo bilang tadi, lo harus udah pulang sebelum jam 11”

“Aku pikir kamu gak mau ngerti”

Aku menatapnya sebelum menyalakan mesin mobil. Dia sudah berusaha mencoba mengerti tentang aku yang labil seperti ini, kenapa aku tak mau mengerti tentang dirinya?

Walaupun dia laki-laki juga sepertiku, walaupun aku ragu dengan apa yang sedang aku coba-coba, walaupun aku masih takut membayangkan bagaimana reaksi orang begitu mengetahui ini, walaupun aku mungkin hanya ingin memanfaatkan nya… relationship’s still relationship.

“Gue mau jadi pacar yang baik. Meski gue kayak gini, tapi gue gak pernah menyia-nyiakan siapapun yang lagi jadi pasangan gue” kata ku, mantap.

Levi tersenyum.

“I keep your words” katanya.

Well.
- - - - -

Di bioskop, as expected, di malam minggu seperti ini jelas banyak sekali yang berpasang-pasangan. Beberapa diantaranya berpegangan tangan. Tak ada yang salah dan tampak risih ketika melihatnya karena mereka pasangan cowok dan cewek, yah itu juga hal yang biasa aku lakukan dulu ketika sedang punya pacar – cewek tentunya.

Sedangkan sekarang, aku berdua dengan Levi hanya seperti tak lebih sepasang teman – yang mungkin di mata orang-orang adalah dua orang cowok tampan muda yang tidak punya pacar untuk diajak ke bioskop di malam minggu ini. How pathetic.

“Lo sering nonton sama mantan lo?” tanya ku begitu kami sedang duduk di depan studio, menunggu pintunya di buka. Memang masih ada sekitar 30 menit lagi.

“Sering. Kamu juga kan?”

“Iya. Tapi, kalo nonton sama temen cowok, gue gak pernah berduaan gini, pasti rame-rame”

Levi mengangguk.

“Kalo nonton sama cewek kamu, pasti berduaan kan?”

“Iyalah!”

“Jadi ini pertama kalinya kamu nonton sama temen cowok, berdua doang?”

“Exactly!”

Levi memandangku lekat. Aku balas memandangnya, bingung.

“Aku cuma temen ya?” bisiknya tiba-tiba.

Aku merasakan wajahku menghangat. Di sekeliling kami banyak orang, dan aku harap tak ada seorang pun yang mencuri dengar. Ah, aku nyaris lupa kalau aku berada disini berduaan dengan seorang cowok untuk menonton film, justru karena cowok itu bukanlah cowok biasa. Bukan hanya sekedar temanku – tak seharusnya aku membandingkan dengan keadaan dulu.

“Lo… siapa ya?” goda ku.

Sebuah tonjokan kecil Levi lancarkan ke bahuku, dia juga tersenyum gemas. Aku membalas dengan mengacak rambut halusnya. Kami jadi asik bercanda sampai pintu theater nya dibuka.

. . . . .

Jangan tanya kapan terakhir aku pergi menonton dengan pacarku ke bioskop. Sejak kuliahku memasuki tahun ketiga, aku mulai benar-benar tak memikirkan cewek. Aku putus dengan cewek terakhirku dengan baik-baik, karena waktu itu dia akan pergi mengambil kuliah di luar negeri, jadi kami memilih untuk putus. Hubungan jarak jauh tidak begitu meyakinkan.

Jadilah sekarang aku bagaikan seorang cowok amatir yang seperti baru pertama kali berkencan lagi. Aku dan Levi mendapat tempat yang agak memojok di barisan yang cukup ke atas, dan masalahnya, di sebelahku, juga di belakang kami semuanya adalah pasangan yang berdua-duaan.

Aku mulai merasa jengah, seharusnya kita memilih tempat di paling depan saja, tanpa harus peduli dengan pasangan-pasangan yang mungkin berencana untuk berbuat mesum disana.

“Kamu kenapa Niel?” bisikan lembut Levi menyentakkan aku yang masih melirikkan kepalaku kesana kemari setelah lampu theater dimatikan karena filmnya sudah akan dimulai.

“Oh nggak” jawabku, balas berbisik. Tangan Levi masih tersimpan di atas tanganku, hingga tanpa sadar aku jadi merasa kaku sendiri, tak bisa menggerakkan tanganku. Aku hanya memakai tangan kananku untuk minum dan minum.

Beberapa menit saja, begitu film diputar (kami memilih film yang agak thriller hingga nyaris tak ada adegan yang membuat tertawa). Suasana yang awalnya cukup hening di sekitarku, mulai berulah. Pasangan di sebelahku asik berbisik-bisik dan mengeluarkan suara aneh, begitu juga dengan yang dibelakang. Kalau saja aku sedang bersama dengan pacar ku yang dulu, aku nyaris tak pernah peduli dengan keadaan seperti ini dan asik bercengkrama juga dengan pacar ku. Tapi sekarang situasinya lain, aku tak tahu, apakah ide bagus kalau aku harus macam-macam dengan Levi.

Kepalaku pun menoleh ke arahnya. Dalam gelap, dan sedikit cahaya dari screen, aku bisa melihat Levi sedang meminum minumannya. Aku juga bisa melihat wajah tampannya dari samping dengan agak jelas, bibirnya yang tipis, lekuk hidungnya yang bangir dan pipinya yang mulus.

Aku menggerakkan tanganku yang berada dibawah tangannya, berpindah ke atas. Perlahan aku menyelusupkan jemariku diantara jemarinya. Dia bereaksi dengan melihat ke arah tangan kami yang jadi bertautan. Samar, aku bisa melihat dia tersenyum, lalu mengembalikan pandangannya ke arah screen.

Aku makin mendekatkan duduk ku, jadi lebih condong ke sebelahnya, hingga hidungku bisa mencium wangi khasnya yang lembut seperti bayi. Wajahku perlahan agak menurun hingga sejajar dengan lehernya, wangi itu semakin memabukanku.

Aku sedang menenangkan diri dengan memejamkan mata sambil mengirup wangi dari tubuhnya, ketika Levi tiba-tiba menoleh hingga ujung hidungnya mengenai hidungku. Kami berpandangan beberapa detik dalam gelap.

“Kamu ngantuk?” tanya Levi lagi, berbisik.

Aku membetulkan dudukku, hingga kepalaku tak lagi sejajar dengannya.

“Nggak” jawabku, balas berbisik.

“Kirain…”

“Kalo gue ngantuk, gue boleh tiduran di pundak lo?” tanyaku, sok manis.

“Boleh”

Tanpa banyak bertanya lagi, aku cepat menyandarkan kepalaku di pundaknya, walau harus sedikit merendahkan posisi duduk ku. Aku mendengar Levi tertawa pelan.

“Jadi kamu ngantuk?” bisiknya.

“Dikit” elakku. Memang sekedar alasan, karena aku hanya ingin menyandarkan kepala di pundaknya, menciumi wangi tubuhnya sepuasku.

Namun aku memang tidak puas, setelah beberapa saat aku menyandarkan kepalaku di pundaknya, dan Levi kembali serius menonton – aku malah terus memandanginya. Memperhatikan lekuk rahangnya yang tampak manis dilihat di kegelapan seperti ini.

Aku makin mendekatkan wajahku, mengecupkan bibirku di rahangnya, di dagunya, naik ke bibirnya – dan saat itu Levi pun menoleh padaku. Mata kami bertemu beberapa detik, sebelum kemudian terpejam.

Aku menciumnya… di bibir.

- - - - -
To Be Continued~


A/N : Eh ada yg baca? Alhamdulillah. Makasih ya semuanya. Ini lanjutannya, not good enough, but hope y'all like it. Enjoy =)

[#3 – Jealousy]

“Kamu udah ngerjain tugas?” pertanyaan Levi menyentakkan aku yang sedang agak melamun sambil melihat keluar dari jendela di sampingku. Aku sungguh nyaris tak sadar, kalau dia sudah duduk di sebelahku.

Aku biasa memilih kursi di jajaran paling belakang, dan Levi selalu di jajaran depan – jelas saja melihat dia di sebelahku sekarang, membuatku terkejut. Beberapa orang teman yang biasa duduk denganku memang belum datang, aku jadi jengah sendiri di dekati Levi seperti ini – apalagi kejadian malam minggu kemarin masih saja menghantuiku.

“Emang ada tugas?” kata ku, seperti biasa nampak bodoh.

Levi tersenyum sambil mengeluarkan salah satu buku catatannya.

“Nih kerjain!” katanya sambil menyimpan buku itu di hadapanku. Dia menyuruhku mengerjakan, tentu saja maksudnya mencontek tugasnya yang sudah selesai.

Aku mengambil buku miliknya, membuka dan mengamatinya beberapa saat. Hingga ingatanku kembali. Memang ada tugas membuat jurnal dari beberapa soal yang pernah diberikan dosenku kemarin. Aku pun mengeluarkan buku tugas milikku, untuk mulai menyalin tugas Levi.

“Niel” kata Levi sambil menangkupkan kedua tangannya diatas meja, menyandarkan kepalanya disana dan menengokkan wajahnya ke arahku, memperhatikan aku yang sedang serius menyalin.

“Apa?” sahutku pendek.

“Kenapa gak bales sms ku dari kemarin-kemarin?”

Tanganku berhenti menulis, dan perlahan aku menoleh pada Levi. Sepasang mata besarnya yang terlihat sendu, sedang memandangku – aku cepat mengalihkan lagi pandangan pada buku di hadapanku. Meski sebenarnya konsentrasiku mulai buyar.

Aku memang tidak menggubris setiap sms dan teleponnya dari sejak kami pulang menonton di malam minggu kemarin. Geez, bagaimana aku menjelaskannya, pokoknya aku sedang ingin menghindar, kalau perlu aku ingin menghilang saja. Kalau tidak ingat jatah membolosku sudah banyak yang terpakai, aku sebenarnya ingin tidak masuk kuliah saja hari ini. Aku masih perlu menenangkan diri dan pikiranku.

Mencium seorang cowok, bagi cowok labil sepertiku sungguh bukan hal sepele. Aku masih perlu meyakinkan diriku, mempertanyakannya lagi, kenapa waktu itu aku sampai mencium Levi… terbawa suasana? Ya, itu jawaban yang sudah aku siapkan karena terdengar paling masuk akal.

“Pulsa gue abis” jawabku sekenanya.

“Terus kenapa gak jawab telpon aku?”

“Uhm.. lo nelpon, pas gue lagi gak deket-deket hape”

“Oh… aku pikir, kamu ngehindarin aku”

Deg.

Aku tidak mungkin mengiyakan, bukan?

“Nggak kok” ujar ku singkat, seolah memang tak ada apa-apa padahal aku jelas tak menemukan kalimat lain yang bagus.

“Tapi kamu baca semua sms ku, kan?” tanya Levi lagi.

“Iyalah…” aku lagi-lagi berusaha menjawab seolah tak ada sesuatu yang menyesaki benakku dan mendebarkan dada ku dengan tak karuan. Aku terus mencoba memfokuskan perhatianku pada deretan angka yang sedang aku salin dari tulisan Levi, namun… gagal.

Aku malah teringat pada setiap sms yang dikirimkan Levi waktu itu. Terus terang aku membacanya sampai berkali-kali hingga beberapa ada yang masih melekat di benakku.

//makasih buat malem ini. aku janji mau lebih ngertiin kamu. makasih buat ciumannya, that’s explain everything. let’s give it more try. i love u//

Mendadak, aku merasakan wajahku sedikit memanas. Oh shit, mengingat salah satu sms Levi, pasti sudah membuat wajahku memerah. Aku pura-pura menolehkan wajahku keluar jendela, menghindari tatapan Levi yang bisa aku rasakan masih melekat padaku. Jangan sampai dia melihat wajahku yang sedang memerah.

“Niel…”

“Hai pagi!”

Suara lembut Levi tertimpa oleh suara seorang perempuan yang aku hapal. Aku menoleh cepat dan melihat Dara sudah berada di hadapan kami.

“Pagi Dara” sahut Levi, yang sekarang sudah duduk dengan normal di kursinya.

“Lev, gue pinjem tugas lo ya? Gue udah ngerjain kok, tapi gue pengen nyamain lagi” pinta Dara, tanpa banyak basa-basi. Dia juga langsung mencoba mengambil buku Levi yang sedang aku salin.

“Heh, gue udah pinjem duluan!” protesku sambil berusaha balik merebutnya.

“Gue bentar doang kok”

“Alah, lo pasti mau nyalin semua juga” ejek ku.

Dara menatapku tajam, tak biasanya dia memandangku seperti itu, walaupun dia sedang kesal karena ledekanku sekalipun. Aku mengernyitkan keningku padanya, dia tidak melunak dan malah merebut buku Levi dari tanganku. Aku yang tak siap, jadi melepaskannya begitu saja.

“Kita kerjain di perpus” perintahnya tiba-tiba. Tanpa menunggu aku memprotes lagi, dia pun berlalu dari sana, keluar kelas.

Levi yang sejak tadi hanya memperhatikan, tampak bingung sendiri.

“Gue ke perpus dulu ya” kata ku akhirnya sambil beranjak dari kursiku, membawa buku tugas dan alat tulis ku. Sebenarnya, aku sudah tak begitu peduli dengan tugas ini, tapi tatapan tajam dan nada suara Dara yang memerintah tadi, membuatku jadi penasaran. Pasti ada apa-apa.

Levi hanya mengangguk. Rasanya aku juga jadi agak lega, karena bisa menghindarinya lagi. Aku memang belum siap kalau harus membahas soal waktu itu. Aku masih… malu.

. . . . .

Dara berhenti di ujung koridor, dimana disana ada sebuah tempat duduk dari tembok. Biasanya di sana ramai kalau sudah siang, karena sekarang masih pagi – suasananya jadi masih agak sepi. Dan yang pasti, jalan ke perpustakaan sangat berlawanan arah dengan tempat ini.

“Sejak kapan ya perpus pindah di mari?” komentarku sambil duduk di samping Dara.

“Lo kan gak biasa ke perpus” sahutnya, meledek. “Waktu itu lo di perpus, nungguin orang, iya kan?”

Aku berhenti memainkan pulpen yang ujungnya sedang aku gigiti, lalu memandang teman baik ku itu. Dara menatapku lagi dengan tajam dan mendadak membuat tubuhku agak merinding. Damn, apa yang dia tau?

“Ng- nggak kok” jawabku, agak terbata.

Dara tersenyum kecut.

“Gak usah ngelak, Niel. Gue liat semuanya; dan gue pikir, gue harus bahas ini sama lo”

“Apa an?” aku terus berpura-pura, dan mencoba tenang sambil kembali menggigiti ujung pulpenku, meski rasanya sekarang tanganku agak gemetar.

“Ini” Dara menunjukkan buku tugas milik Levi.

“Kenapa itu?” aku tetap berpura-pura bodoh.

“Tadi dia duduk di sebelah lo”

“Terus? Emang gak boleh si Levi duduk di sebelah gue? Wah parah lo kenapa jadi diskriminasi gini…”

“Niel, gue lagi ngomong serius sama lo!” Dara menyergah perkataanku, sambil agak memukulkan buku Levi yang sedang dia pegang ke bahuku.

“Gue juga gak lagi bercanda” bantahku.

Dara mendecak pelan, sebelum kemudian kembali menatapku dengan tajam.

“Gue gak pernah tau lo segitu akrabnya sama Leviandra” kata Dara dengan suara yang sedikit di pelankan.

“Apa maksud lo…” aku mengerutkan kening, tetap bertingkah santai, walau sebenarnya jantungku sudah seperti akan melompat keluar. Ini jelas ada yang tidak beres.

“Gue bilang gak usah ngelak. Gue liat kalian berduaan keluar dari mall malem minggu kemaren”

Dara pun mengatakannya, menyempurnakan ketakutanku. Yes, she knew something. Big damn.

0 komentar: