Aku dan Fizkar

Sudah sebulan lebih Aris sekolah di
tempat yang sama denganku. Sebuah
SMA terbaik nomor dua di sebuah
kotamadya di Jakarta saat itu. Aku
masuk program Fisika atau A-1
sedangkan Aris masuk program Biologi
atau A-2. Nilainya memang cukup
lumayan. Peringkat ketiga belas di
kelasnya, saat kuintip rapornya.
Temannya sudah jauh lebih banyak
dibandingkan aku. Tentu saja. Sangat
tidak adil membandingkan sebutir
berlian dengan sebuah kerikil! Huhhh ...
Aris sudah bergabung dengan
kepengurusan OSIS di seksi Kesehatan
dan Olahraga. Ia juga aktif di
ekstrakurikuler karate. Melanjutkan
ekstrakurikuler yang juga dipilihnya
saat sekolah di kampung. Sesekali ia
juga bergabung dengan anak-anak
yang terlibat dalam kerohanian Islam.
Saat itu di sekolahku disebut Majelis
Ta’lim (MT). Hebatnya lagi, ia langsung
terpilih sebagai ketua kelas di kelas II
Biologi 2. Adapun diriku? Masih seperti
dulu. Aktivitasku hanya belajar
semampu dan semauku. Yah,
semauku! Terlalu banyak yang
mengoyak konsentrasiku dalam
belajar.
Akibat dari itu semua, aku dan Aris
tidak pernah lagi pulang bersama.
Sebelum jam satu siang aku sudah
melemparkan tubuhku di tempat tidur
kamarku. Aris baru kembali paling
cepat jam tiga sore. Untungnya ia
selalu dengan sengaja membarengiku
saat berangkat. Jadi, orang tuaku yang
selalu kembali sebelum maghrib selalu
menganggap kami pulang pergi
sekolah selalu bersama. Sejujurnya
aku ingin seperti itu tetapi aku sangat
tersiksa kalau berada di setiap
lingkungan kegiatan yang biasa Aris
ikuti.
Akh, semua sudah tidak mungkin. Aku
dan Aris hanya secara fisik saja terlihat
bersama-sama. Di kamar saat belajar
atau tidur, di meja makan, atau saat
berangkat sekolah. Itupun tanpa ada
dialog yang berarti.
Duniaku kembali sepi.
“Nanti pulang bareng, ya?!” aku sangat
terkejut mendengar Aris berbicara
padaku sebelum mencapai pintu
gerbang sekolah kami. Aku sampai
terperangah. Mulutku terbuka heran.
“Kamu tidak ada kegiatan?” tanyaku
setelah keherananku berkurang.
“Hari ini aku mau langsung pulang
saja. Besok ulangan Biologi dan
Sejarah. Aku harus siap-siap. Aku malu
kalau nilaiku kalah jauh sama kamu!”
senyumnya menggoda. Ya, beberapa
guru sudah mengadakan ulangan. Aku
sendiri sudah ulangan Matematika
beberapa hari yang lalu. Nilai delapan
yang kuperoleh cukup melegakan.
Padahal aku belajar dengan kondisi
hati tercabik-cabik. Seandainya jiwaku
sesempurna Aris, mungkin nilai sepuluh
bukanlah hal yang sulit.
“Kamu tidak harus pulang bareng aku,
kok!” selaku “... bapak dan ibu tidak
tahu kalau selama ini kita sudah tidak
pernah pulang sama-sama lagi. Mereka
sore baru pulang ...”
Aris menghentikan langkahnya.
Otomatis aku mengikutinya berhenti.
Sinar matanya protes terhadap
ucapanku. Ia menarikku duduk di
pendopo sekolah. Jauh dari orang lain.
“Selama ini aku tidak bisa pulang
bareng kamu karena selalu ada
kegiatan tambahan. Rapat OSIS,
ekskul, MT, atau belajar kelompok!”
belanya.
“Kamu tidak pernah mau berbicara lagi
denganku kalau tidak di depan ibu
atau bapak!” sindirku.
“Kamu tidak tahu penyebabnya?” nada
tanyanya sangat menekan.
“Aku tahu!” tantangku.
“Apa?” selidiknya.
“Karena aku banci!”
“Toro!...”
“Bencong yang menjijikkan!” lanjutku
pedas.
“Ro!”
“Jangan menyentuh aku! Nanti kamu
tertular!” aku tepis tangannya yang
mencoba mencekal pundakku. Aku lari
menuju kelasku. Ya, Tuhan! Jangan
sampai air mata ini keluar sebelum aku
sampai ruang kelas ...
Proses pembelajaran berlangsung biasa
hingga akhir jam istirahat.
Setelah itu ada peristiwa yang
mengejutkan. Ada anak baru di
kelasku, II Fisika 3. Fizkar Zakaria
namanya. Tubuhnya kecil tetapi tegap.
Rambut agak cepak. Kurasa kalau
gondrong ia akan menjadi kribo.
Wajah tampannya terlihat lelaki sekali.
Menurutku kesan badungnya sangat
menonjol. Tentu saja gumpalan di
celananya yang agak ketat juga tidak
kalah menonjol. Ouch ...
Ada yang lebih mengejutkan lagi.
Sebagian teman sudah mengenal
Fizkar. Ia pernah dikeluarkan saat kelas
dua SMP karena membuat kepala
siswa sebuah STM berdarah-darah. Di
kelas tiga SMP berikutnya dikeluarkan
lagi gara-gara mematahkan tangan
salah seorang teman sekelasnya yang
juga anak ketua yayasan SMP
tersebut. Kini kelas dua SMA kok bisa
masuk program Fisika?
Satu lagi yang mengejutkan. Ia duduk
sebangku denganku. Yah, mau tidak
mau. Hanya aku yang tidak memiliki
pasangan duduk. Siapa yang mau
duduk dengan bencong waktu itu?
Apalagi posisiku di depan meja guru
persis.
“Fizkar ...” sebuah telapak tangan
terulur ke arahku. Ia kembali
memperkenalkan diri secara pribadi
padaku. Gentle sekali. Tatapannya
sangat maskulin. Aku dengan penuh
rasa grogi menyambut uluran tangan
tersebut.
“Toro ...” nyaris tak terdengar.
Bel pulang.
“Rumah elo di mana?” tanya Fizkar
padaku saat teman-teman yang lain
berhamburan ke luar kelas.
Kusebutkan kawasan tempatku tinggal
dengan malu-malu. Huhh... malu-
maluin! Baru ditanya begitu sudah
kehabisan nafas ...
“Oooh, dekat SMA ** dong!?” ia
menyebut sebuah SMA negeri yang
sangat dekat dengan rumahku. Aku
mengangguk.
“Kenal Mas Jarwo, dong!” tanyanya
lagi . Gila! Siapa yang tidak kenal nama
itu di daerahku? Beberapa maling yang
tertangkap langsung pingsan meski
hanya sekali tampar olehnya.
Tubuhnya kekar berotot. Wajahnya
dingin. Lagi-lagi aku mengangguk. Kali
ini sambil menelan ludah.
Dengan mencuri-curi kuamati Fizkar.
Pernah membuat kepala orang bocor.
Mematahkan tangan anak ketua
yayasan. Menanyakan Mas Jarwo,
orang yang paling ditakuti di daerahku.
Jelas, dia bukan anak baik-baik. Oh,
Tuhan! Jauhkan aku dari
kejahatannya ...
“Kok, diam?” tanyanya tajam.
“Oh! A..a..aku ke..kenal ...” Sialan! Jelas
sekali kalau aku gugup. Ia
merangkulkan tangannya di
pinggangku.
“Jangan terpengaruh dengan anggapan
atau penilaian orang lain!” kata-
katanya tegas “... percayalah dengan
apa yang ada dalam perasaan elo!”
Perasaanku saat mengenal kamu tidak
berbeda jauh dengan perasaan teman-
teman lain, Fiz! Ngeri, batinku ...
“Dan jangan terlalu cepat menilai
seseorang ... apalagi baru bertemu atau
cuma melihat dari jauh! Kenali dulu
orang itu, baru menilai!” ingatnya lagi.
Dari kelasnya Aris berlari menghampiri
kami berdua.
Ia berdiri di hadapan kami. Tidak
bersuara. Fizkar memandangnya tajam.
Aris balas menatapnya. Dua sinar
berkilatan. Alah! Berlebihan!
“Eh ... Fizkar! Ini saudaraku ... Aris! Dia
anak pamanku ...” aku mencoba
mencairkan suasana yang beku. Sulit
sekali ...
Tidak ada jabat tangan. Hanya saling
menatap. Saling menjajaki apa yang
ada di dada masing-masing. Aku jadi
bingung.
“Fiz ... aku duluan, ya!” kuputuskan
untuk memisahkan mereka segera.
Fizkar mendekatkan kepalanya ke
arahku. Tak terduga ia mencium pipiku!
Hah!
“Oke! Ketemu lagi besok!” bibirnya
tersenyum manis. Namun, matanya
masih memancarkan kengerian. Ia
pergi menjauhi aku dan Aris.
“Setan ...” kudengar Aris berdesis.
Wajahnya mengeras. Tangannya
mengepal. Puncak kemarahan yang
tak pernah kulihat sebelumnya.
“Jangan mendekati dia, Ro!” larangnya.
“Dia yang mendekatiku!” tangkisku.
“Dia anak liar!” tegasnya.
“Dari mana kamu tahu?” selidikku.
“Beberapa teman sekelasku pernah
sekelas dengannya di SMP. Mereka
melihatnya masuk sekolah ini dan
langsung membicarakannya.. Mereka
juga mengingatkanku agar
menjauhkan kamu darinya. Mereka
lihat kamu berdua dengan dia tadi!”
terangnya panjang lebar.
“Kamu percaya?” tanyaku ringan.
“Aku mempercayai teman-temanku!”
tekannya.
“Mereka bukan teman-temanku. Jadi,
tidak wajib bagiku mempercayai
mereka, bukan?!” bantahku.
“Kamu tidak mempercayai aku?”
gugatnya kali ini.
“Apakah kamu pernah meyakinkan
aku supaya mempercayai kamu?” aku
menggugat balik.
“Tapi kamu sudah mengenal aku sejak
lama, Ro! Dengannya kamu baru
kenal!” bandingnya.
“Aku merasa belum mengenalmu!”
tangkisku.www.ceritagay.uiwap.com
“Paling tidak kamu sudah lebih dulu
bertemu denganku sebelum
dengannya?” cecarnya.
“Yang namanya Cagax dan Hendra
sudah lebih dulu bertemu denganku
sebelum kamu. Apakah kamu tidak
keberatan kalau aku lebih
mempercayai mereka dibandingkan
kamu?”
“Ro ...” Aris terkulai.
Kami tetap pulang bersama. Namun,
tanpa dialog.
Di kamar ...
“Toro ... maafkan aku! Aku terlalu
memaksakan kehendak. Tapi, tetaplah
waspada ... Track record Fizkar sangat
tidak baik ...” Aris berbisik dari
belakang.
“Sudah, ah! Aku mau tidur siang ...
ngantuk!” putusku. Aris justru
mendekapku. Kurasakan kontolku
menegang saat kontol Aris menyentuh
bagian belakang tubuhku. Namun,
tidak ada perubahan apapun. Kontol
Aris memang cukup besar
dibandingkan anak seusia kami, tapi ia
tidak ngaceng sama sekali. Ia tidak
birahi ...
Aku mengantuk. Aku berharap Aris
tetap memelukku hingga tertidur. Aku
ingin bermimpi indah. Namun, harapan
tetap harapan, impian tinggallah
impian.
Aris melepas dekapannya di tubuhku.
Ia beranjak mengambil buku. Belajar.
Hiks ...

0 komentar: